analisis nilai didaktis dalam cerpen


KAJIAN PROSA FIKSI
MENGANALISIS UNSUR INTRINSIK CERPEN
Dosen Pengampuh Dra. Ani Diana, M.Hum.

download.jpg                                               




Disusun oleh:
Kelompok VI

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
2016



DAFTAR NAMA KELOMPOK




NO

NAMA

NPM
PARAF
1

Misgianti

15040028

2

Wike Dwi Agustin

15040029

3

Ria Destiana

15040030

4

Suci Mega Astuti


15040031


5

Melinda


15040032


6

Ria Agustina


15040039


7


Mita Apriani


15040040










KATA PENGANTAR

Assalamuallaikum Wr. Wb
            Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Kajian Prosa fiksi (Perempuan Itu Bernama Evie) ini. Tidak lupa kami mengucapakan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Kajian Prosa Fiksi yaitu Dra. Ani Diana, M.Hum dan pihak-pihak lain yang telah mendukung dalam kelancaran pembuatan makalah ini.
Adapun maksud dan tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Kajian Prosa Fiksi.
Wassalamuallaikum Wr. Wb

Pringsewu, 4 Maret 2016

             Penulis









DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR NAMA KELOMPOK......................................................................... ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................... iii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A.    Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah..................................................................................... 1
C.     Tujuan Penulisan....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 2
A.    Analisis Unsur Intrinsik Prosa Fiksi.......................................................... 8
BAB III PENUTUP............................................................................................. 19
A.    Kesimpulan................................................................................................ 19
B.     Saran.......................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA


















BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Cerpen atau cerita pendek merupakan salah satu karya prosa fiksi. Dalam sebuah cerpen tidak terjadi perubahan nasib, karakter tokoh dan lain-lain.
Ciri-ciri cerpen menurut Guntur Tarigan antara lain:
a.       Singkat, padat dan intensif
b.      Memiliki unsur utama
c.       Bahasanya tajam, sugestif dan menarik perhatian
d.      Mengandung kesan
e.       Menimbulkan efek tunggal dalam pikiran pembaca
f.       Memiliki pelaku utama yang menonjol pada cerita
g.      Menyajikan kebulatan efek dan kesatuan emosi
h.      Mengandung detail dan insiden yang benar-benar terpilih
Di dalam cerpen terdapat dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Namun dalam makalah ini yang akan kami paparkan adalah unsur intrinsiknya.
B.     Rumusan Masalah
Apa sajakah unsur intrinsik di dalam cerpen “Perempuan Itu Bernama Evie”

C.    Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui unsur untrinsik yang terkandung dalam cerpen “Perempuan Itu Bernama Evie”


BAB II
PEMBAHASAN

Perempuan Itu Bernama Evie
Turun dari bandara, hari masih pagi. Aku langsung naik taksi. Kusebutkan nama sebuah jalan di daerah Baciro dan taksi meluncur. Kurapatkan jaket karena ac mobil terasa dingin. Ingat meeting nanti malam, membahas sesuatu yang penting. Jadi, aku sudah pesan tiket pulang penerbangan berikutnya.
“Saya nanti kembali ke Bandara. Bisa nunggu nggak?” karena kuyakin masalah bisa cepat selesai.
“Oh, bisa Pak!” sopir taksi membalas sopan. Pada saat taksi meluncur di Jalan Solo dan melewati hotel berbintang, aku langsung ingat Evie. Perkenalan kami terjadi disana. Awalnya, niat buka bisnis dengan teman di Yogya, tapi perkenalan ku dengan Evie yang cantik dan mempesona berlanjut dari kencan pertama ke kencan berikutnya.
Lampu merah, taksi berhenti. Perempatan Janti padat sepagi ini. Banyak anak sekolah dan karyawan pergi ke kantor. Di pojok perempatan Janti, di sebuah rumah makan, sepuluh bulan yang lalu Evie mengaku hamil. Aku gelisah, kebohongan menguntit ke mana pun aku pergi. Perselingkuhan itu indah, tapi menggelisahkan terutama setiap kali Nurlita, istriku mencium mesra kalau aku pamit dan terbang ke Yogya. Kukatakan pada Nurlita bisnisku maju pesat. Suatu saat aku akan mengajaknya, janjiku. Padahal, aku sibuk melamar dan menikahi Evie.
Lampu hijau, taksi meluncur kembali. Dunia serasa berhenti berputar saat ibu dan Nurlita tahu keberadaan Evie. Entah dari mana mereka tahu. Siapa yang membocorkannya? Mungkin rekan bisnis yang gagal kuajak bekerjasama karena aku sibuk kencan dengan Evie. Ibu sedih, Nurlita mengurung di kamar berhari-hari. Aku pun menyesal menyakiti hati Nurlita, perempuan yang telah 10 tahun kunikahi. Ia tidak lagi tersenyum, tidak lagi menemaniku menikmati teh manis di pagi hari, tidak ada lagi kue lezat buatan tangannya, tidak ada kehangatan di ranjang, dan rumput di halaman dibiarkan tumbuh liar. Aku menyesal melihat perempuan yang kucinta dan mencintaiku larut dalam kesedihan. Nurlitaku tidak lagi cantik dan ceria, ia murung dan aku penyebabnya. Terlalu mencintai Nurlita yang setia, aku menemui ibu, sowan ke rumahnya dan mencium tangannya.
“Aku akan menceraikan Evie, Bu!” itu keputusanku. Kutatap ibu tapi perempuan tua yang selalu berkebaya dan masih cantik itu melemparkan pandangannya ke halaman. Rumah yang luas dan megah ini milik ibu, seorang juragan batik yang dihormati. Rumah ini sepi setelah ayah tiada. Lama ibu memandang halaman yang asri baru kemudian  menatapku yang duduk di kursi teras.
“Tapi ia mengandung anakmu. Anak yang kau tunggu 10 tahun lamanya!” tatapan ibu aneh. Aku menunggu kata-kata ibu selanjutnya. “Ibu sedih melihat Nurlita seperti itu, tapi diam-diam ibu merindukan cucu darimu, Faisal!” kata ibu pelan. Terkejut aku mendengarnya padahal saat ibu tahu aku menikahi perempuan Yogya itu, beliau marah besar.
“Kau juga menginginkan anak, bukan? Ibu sekarang mengerti kenapa kau diam-diam menikahi perempuan Yogya itu!” suara ibu datar. “Mungkin, ayahmu pun akan melakukan hal yang sama jika ibu tidak segera memiliki anak, “ibu bicara sendiri, aku hanya mendengarkan.
“Tapi belum tentu ia mengandung anakku, Bu!” kataku berterus terang.
“Kenapa kau ragu kalau ia mengandung anakmu?” ibu menyelidiki. “Apa ia bukan perempuan baik-baik?” aku tidak menjawab tapi terbayang bagaimana Evie yang cantik dan lincah itu beberapa kali kupergoki masih berkencan dengan pria lain setelah kunikahi.
“Apa yang membuatmu ragu?” ibu bertanya lagi. Aku tetap tidak menjawab. Entah tapi aku belum yakin kalau Evie hanya tidur denganku. Sampai seseorang menyadarkanku.
“Sudah sampai, Pak!” sopir taksi menghentikan mobilnya di jalan yang telah aku sebutkan sebelum naik taksi. Terlihat dari jauh sebuah rumah sederhana.
“Oh…maaf, terima kasih. Tunggu ya?” sopir itu mengangguk. “paling setengah jam, atau paling lama satu jam!” kataku. Aku menenteng sebuah tas berisi pengajuan surat cerai yang harus ditandatangani dan selembar cek untuk Evie.
Rumah itu masih seperti sepuluh bulan lalu, ketika aku melamar dan menikahinya. Rumah sederhana bercat putih. Di pinggir rumah, terlihat jemuran penuh baju dan popok bayi. Di salah satu suratnya, Evie mengabarkan ‘anak kita’ sudah lahir. Anak kita? Aku tidak yakin anak itu anakku. Hanya beberapa bulan mengenalnya sebelum aku menikahinya. Beberapa kali kupergoki Evie masih berkencan dengan lelaki lain meski ia selalu kukirimi uang untuk memenuhi kebutuhannya. Bodohnya aku, menghianati istri setia dan terhormat seperti Nurlita. Itulah yang menyadarkanku untuk kembali hidup bersamanya dan meninggalkan Evie.
Tok tok tok! Kulihat sekeliling rumah, sepi. Beberapa anak tetangga berlarian di sekitar rumah. sekali lagi kulihat jemuran baju dan popok bayi yang berderet putih. Tercium aroma wangi-wangian bayi. Aku menarik nafas menguatkan hati: Evie benar-benar sudah melahirkan tapi bayi itu bukan anakku!
Sekali lagi kuketuk pintunya. Seseorang membuka pintu, tampak seorang perempuan setengah baya yang sederhana menatapku, ibu Evie. Ia terperanjat melihatku berdiri tegak persis di hadapannya. Ia pasti tidak menduga aku tiba-tiba muncul di pagi hari. Matanya berkilat menahan perasaan hatinya. Aku tau ia marah melihatku sebagai menantu yang tak bertanggung jawab, tapi ia tetap mempersilahkan aku duduk, meski tampak gugup. Tak banyak bertanya sejak aku mengenalnya.
Ibu Evie masuk tanpa kata-kata. Aku duduk di ruang tamu, menunggu. Masih seperti dua tahun yang lalu. Dulu di ruang inilah ijab qobul dilaksanakan. Hanya satu yang bertambah di ruang ini, sebuah foto! Aku tertegun menatap foto pernikahan kami tergantung didinding berukuran besar. Dua tahun lalu, aku berjanji sehidup semati dengan Evie, tetapi kenyataannya, Bah! Aku suami tak bertanggung jawab bagi Evie dan suami pembohong bagi Nurlita. Pagi ini aku ingin ketemu Evie dan menceraikannya baik-baik! Aku bermaksud baik, menceraikan dan mengembalikan Evie pada ibunya.
Tiba-tiba ibu Evie muncul dari balik pintu sambil menggendong bayi. Aku tidak menduga dan aku tidak siap menghadapinya. Bayi? Semakin dekat bayi itu, semakin cepat jantungku berdegup. Bayi laki-laki! Bayi itu didekatkan padaku. Tak bisa kutolak, aku mengamati bayi itu. Wajahnya mungil. Matanya hitam berbinar, bulat, berkejap-kejap. Lucu sekali. Aku menyambutnya dalam keterkejutan. Tanpa banyak bicara dan tanpa kata-kata, ibu Evie mendekatkan bayi itu padaku. Kuraih tangan mungilnya. Lembut. Kelembutan yang menakjubkan. Tercium semerbak wangi minyak telon. Bau harum bayi yang kurindukan. Sepuluh tahun aku merindukan bau harum bayi yang lahir dari rahim Nurlita. Kini, bayi mungil itu nyata dihadapanku, tapi ini bayi Evie!!
Bayi itu disodorkan Ibu Evie lebih dekat lagi, masih tanpa kata-kata. Ia membiarkan bayi itu kuelus tangan dan pipinya. Sejak aku mengenalnya, Ibu Evie memang tidak banyak bicara. Kali ini pun tanpa kata-kata, ia menyodorkan bayi mungil itu ke pangkuanku untuk kedua kalinya dan aku tak kuasa menolaknya. Aku tidak ingin menyakiti hati perempuan setengah baya ini. Ia terlalu baik, meski Evie telah membuatku tidak percaya. Perempuan tua itu menahan keharuan hatinya ketika aku mau menerima bayi itu.
Kuraih tubuhnya yang mungil terbalut selimut hangat. Kelihatannya selesai dimandikan. Kini bayi itu sangat dekat dan terasa hangat. Nafasnya pelan teratur. Mata hitamnya berkejap menatapku. Ya Allah, inilah makhluk terkecil yang pernah aku sentuh! Aku menyentuh pipinya yang halus. Ya Tuhanku, mengapa pipi bayi itu begitu lembut dan aku tak kuasa begitu ingin menciumnya! Kuperlihatkan lebih seksama bayi yang telah kucium pipinya. Tangannya yang mungil memegang kuat jariku seolah tak mau melepaskan. Oh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang mengapa tangan bayi ini begitu kuat memegang jariku? Kembali kuamati rambutnya, hitam dan ikal. Oo…seperti rambutku! Seakan darahku berhenti berputar, aku mulai berkeringat. Kuamati lagi bagian wajah yang lain. Garis hidung dan lekukan bibirnya. Oo Tuhanku Maha Pemurah…garis hidung ini, lekukan bibir bayi ini…persis lekukan bibirku! Kali ini tidak saja darahku yang berhenti mengalir tapi jantungku berhenti berdetak!!
Gusti! Maafkan aku!. Inikah anak yang kuragukan darah dagingku? Aku segera istighfar menyebut nama Allah berkali-kali. Memohon ampun atas segala dosaku. Darahku kemudian terasa hangat mengaliri seluruh pori-pori tubuhku. Gusti, mengapa kau ciptakan anak laki-laki ini berambut ikal, hitam seperti rambutku? Garis hidung dan lekukan bibir seperti milikku? Bayi itu menatapku. Kepolosannya terasa menelanjangi dosaku. Darahku kembali terkesiap. Haruskah kuingkari bayi ini bukan dari benihku? Haruskah kupertahankan keraguanku pada perempuan bernama Evie? Gusti, akulah laki-laki yang banyak dosa.
Mataku teraliri kehangatan yang tak bisa dicegah. Keharuan dan perasaan yang membuncah menyudutkan hati yang berdosa. Saat itu, aku lihat Evie muncul dari balik pintu dan berdiri mematung menatapku menggendong bayinya. Ia memandangku tanpa kata-kata dari sinar matanya terpancar begitu banyak pertanyaan. Aku memandangnya, menatap tubuhnya yang kurus, wajahnya polos tanpa make up. Evie…. Akulah suami yang durhaka!
Ibu evie masih duduk di sampingku, bayi laki-laki berambut ikal masih berada dalam pelukanku. Evie berjalan pelan mendekati kami. Bau minyak kayu putih. Aku menatapnya, Evie menatapku. Kami bertatapan! Tidak satu pun kata keluar dari mulutnya, hanya kulihat pandang matanya seolah ingin bertanya: apakah masih meragukan bayi itu? Evie terus memandangku dan seolah-olah mengatakan, “lihat matanya, lihat hidungnya, rambutnya, dan lekukan bibirnya. Semua mirip ayahnya, mirip kamu!”
Aku tidak segera mengeluarkan surat yang harus segera ditandatanganinya. Aku lupa dengan meeting nya di Jakarta. Lupa dengan jadwal penerbangan berikutnya. Aku juga lupa janji dengan sopir taksi di depan rumah. Yang kulakukan adalah merapatkan pelukan pada bayi laki-laki. Menghisap dalam-dalam bau minyak telon dari tubuhnya. Menghisap kerinduan yang kutunggu sepuluh tahun lamanya. Kenikmatan yang luar biasa menyergapku. Ibu benar, aku merindukan anak. Sangat merindukan anak yang lahir dari darah dagingku. Aku mencium kening bayi itu, mengelus rambut ikalnya, menjentik hidungnya. Tiba-tiba aku ingat ibu. Pasti anak ini akan menjadi cucu kesayangan ibu. Pasti ibu akan menerima Evie siapa pun dia di masa lalu.
Kubiarkan perempuan setengah baya itu menatapku sambil mengusap air matanya dengan ujung kebaya. Kubiarkan Evie tetap memandangku tanpa kata-kata. Sambil memejamkan mata, kuhirup kenikmatan dan keharuman mulut bayi bersama bayang Nurlita, istriku yang setia di Jakarta.!
Gedongan baru, Desember 1999








A.    Analisis Unsur Intrinsik Prosa Fiksi
Unsur intrinsik adalah suatu unsur yang menyusun suatu karya sastra dari dalam yang mewujudkan struktur sebuah sastra .
Unsur intrinsik prosa fiksi meliputi:
1.      Tema
Tema merupakan inti dari cerita.
Dari contoh prosa fiksi  diatas yang berjudul “Perempuan Itu Bernama Evie” dapat dikaji bahwa contoh prosa fiksi  tersebut bertema percintaan yang berujung pada perselingkuhan tokoh utama.
2.      Alur
Alur yaitu jalan cerita (maju, mundur atau campuran). Selain itu situasi dalam cerita dapat di analisis dari:
a.       Situasi awal
b.      Situasi makin memuncak
c.       Klimak (puncak)
d.      Penyelesaian
Dalam prosa fiksi diatas, alur yang digunakan adalah alur campuran, karena peristiwa ceritanya bermulai dari tokoh utama yang naik taksi kemudian membayangkan masa lalunya dengan Evie, kemudian tokoh utama tersadar lagi hingga akhir cerita.
Situasi yang digunakan dalam alur prosa fiksi diatas adalah situasi awal.  Karena pada paragraf pertama berisi pemaparan awal cerita, kemudian pada paragaf berikutnya mulai muncul masalah, lalu masalah mulai meningkat pada paragraf selanjutnya.
3.      Penokohan
Penokohan adalah watak atau karakter pelaku dalam cerita, baik pelaku antagonis, protagonis, maupun trigonis.
Penokohan pada contoh prosa fiksi diatas adalah sebagi berikut:
1)      Tokoh utama “Aku”
Dilihat dari sisi psikisnya “Aku” berwatak tidak mempunyai pendirian, penghianat, pembohong, mudah terpengaruh oleh keadaan, tetapi bertanggungjawab.
Dikatakan tidak mempunyai pendirian karena “Aku” yang awalnya berniat menceraikan Evie, namun pada akhirnya tidak jadi menceraikan.
Dikatakan penghianat karena “Aku” Telah menghianati istrinya yaitu Nurlita dengan berselingkuh bersama Evie wanita yang dikenalnya saat “Aku” berniat membuka bisnis dengan temannya di Yogya.
 Dikatakan pembohong karena “Aku” telah membohongi istri dan ibunya.
Dikatakan mudah terpengaruh kedaan karena “Aku” mudah tergoda dengan wanita cantik saat jauh dari istrinya dan tidak jadi menceraikan Evie ketika dia sudah meyakini bahwa bayi laki-laki yang dilahirkan Evie adalah darah dagingnya.
Dikatakan bertanggungjawab karena “Aku” meskipun telah berkhianat dan membohongi istrinya namun dia bertanggungjawab atas apa yang dia lakukan terhadap Evie dengan cara menikahinya.
Dilihat dari sisi sosiologisnya “Aku” adalah seorang laki-laki pembisnis. Hal tersebut dijelaskan pada paragraf ke tiga yaitu pada kalimat awalnya, niat buka bisnis dengan teman di Yogya.
2)      Sopir taksi
Dilihat dari sisi psikisnya Sopir taksi berwatak sopan. Hal tersebut diperjelas pada paragraf ke 3 yaitu pada kalimat oh, bisa pak!” sopir taksi menjawab sopan.
Dilihat dari sisi sosiologisnya sopir tersebut adalah seorang laki-laki yang bekerja sebagai sopir taksi.
3)      Nurlita
Dilihat dari sisi psikisnya Nurlita berwatak setia. Hal terebut diperjelas pada paragraf ke 14 yaitu kalimat bodohnya aku, menghianati istri setia dan terhormat seperti Nurlita.
Dilihat dari sisi fisiknya Nurlita adalah wanita yang awalnya cantik, berubah menjadi tidak cantik lagi setelah mengetahui hubungan “Aku” dengan Evie.
Dilihat dari sisi sosiologinya Nurlita adalah wanita yang awalnya selalu ceria, selalu tersenyum, dan tidak pernah membiarkan rumput di halaman tumbuh liar berubah menjadi murung, dan tidak peduli dengan rumput yang tumbuh liar dihalaman rumahnya setelah mengetahui perselingkuhan “Aku” dengan Evie. Selain itu, Nurlita adalah wanita yang terhormat. Hal tersebut dijelaskan pada paragraf ke 14 yaitu  kalimat  bodohnya aku, menghianati istri setia dan terhormat seperti Nurlita.
4)      Ibunya Aku
Dilihat dari sisi psikisnya ibunya “Aku” berwatak bijaksana. Dikatakan bijaksana karena meskipun awalnya marah saat mengetahui bahwa anaknya “Aku” menikah lagi, namun akhirnya membiarkan “Aku” untuk hidup bersama Evie karena evie telah mengandung cucu yang telah lama dirindukannya.
Dilihat dari sisi fisiknya ibunya “Aku” adalah perempuan tua yang selalu berkebaya dan masih cantik. Hal tersebut dapat dilihat pada kalimat kutatap ibu tapi perempuan tua yang selalu berkebaya dan masih cantik itu melemparkan pandanganya ke halaman.
Dilihat dari sisi sosiologisnya ibunya “Aku” adalah seorang juragan batik yang dihormati. Hal tersebut dapat dilihat pada kalimat rumah yang luas dan megah ini milik ibu, seorang juragan batik yang dihormati.
5)      Evie
Dari sisi psikisnya Evie berwatak pendiam, dan misterius. Hal tersebut dijelaskan pada paragraf ke 23 yaitu kalimat tidak satu pun kata keluar dari mulutnya, hanya kulihat pandang matanya seolah ingin bertanya: apakah masih meragukan bayi itu? Evie terus memandangku dan seolah-olah mengatakan, “lihat matanya, lihat hidungnya, rambutnya, dan lekukan bibirnya. Semua mirip ayahnya, mirip kamu!”.
Dilihat dari sisi fisiknya Evie adalah wanita yang mempesona dan cantik serta lincah. Hal tersebut dijelaskan pada paragraf ke 3 yaitu pada kalimat tapi perkenalanku dengan Evie yang cantik dan mempesona berlanjut dari kencan pertama ke kencan berikutnya. Dan kalimat aku tidak menjawab tapi terbayang bagaimana Evie yang cantik dan lincah itu beberapa kali kupergoki masih berkencan dengan pria lain setelah kunikahi.
Dilihat dari sisi sosiologisnya Evie adalah wanita penggoda yang sering berkencan dengan pria lain meskipun sudah menikah dengan Aku. Hal tersebut diperjelas pada paragraf ke 10 yaitu kalimat aku tidak menjawab tapi terbayang bagaimana Evie yang cantik dan lincah itu beberapa kali kupergoki masih berkencan dengan pria lain setelah kunikahi.
6)      Ibu Evie
Dilihat dari sisi psikisnya ibu Evie berwatak pendiam dan gugup. Hal tersebut di gambarkan pada paragraf ke 16 yaitu pada kalimat Aku tau ia marah melihatku sebagai menantu yang tak bertanggung jawab, tapi ia tetap mempersilahkan aku duduk, meski tampak gugup. Tak banyak bertanya sejak aku mengenalnya”.
Dilihat dari sisi fisiknya ibu Evie adalah perempuan separuh baya. Hal tersebut dijelaskan pada paragraf ke 16 yaitu kalimat tampak seorang perempuan setengah baya yang sederhana menatapku, ibu Evie.
Dilihat dari sisi sosiologisnya ibu Evie adalah perempuan yang baik dan juga sederhana. Hal tersebut dijelaskan pada paragraf ke 19 yaitu kalimat Aku tidak ingin menyakiti hati perempuan setengah baya ini. Ia terlalu baik, meski Evie telah membuatku tidak percaya. Dan pada kalimat tampak seorang perempuan setengah baya yang sederhana menatapku, ibu Evie.
4.      Setting/Latar
Setting adalah geografis tempat kejadian dalam cerita dan waktu terjadinya dalam cerita.
a.       Setting tempat
Peristiwa pada novel diatas terjadi di Bandara, di dalam taksi, dan di lampu merah perempatan Janti, di baciro (rumah Evie), di ruang tamu (rumah Evie), dan di balik pintu.
b.      Setting waktu
Peristiwa pada novel diatas terjadi pada pagi hari.
Hal tersebut dapat dilihat pada awal kalimat di paragraf pertama “Turun dari bandara, hari masih pagi”.
c.       Setting suasana
Suasana yang tergambar pada novel diatas adalah sebagai berikut:
a)      Mengecewakan, karena Aku telah menghianati Nurlita (istrinya)
b)      Menyedihkan, karena setelah Nurlita (istrinya) tahu bahwa “Aku” menikah dengan Evie dia menjadi murung,  tidak lagi tersenyum, tidak lagi cantik, dan tidak lagi ceria.
c)      Mengharukan, hal tersebut dijelaskan pada kalimat perempuan tua itu menahan keharuan hatinya ketika aku mau menerima bayi itu. Dan dikatakan mengharukan karena “Aku” yang tadinya berniat untuk menceraikan Evie karena meragukan anak yang dikandung Evie, malah tidak jadi menceraikan karena akhirnya “Aku” meyakini bahwa bayi laki-laki yang dilahirkan Evie adalah darah dagingnya.
5.      Point of few/Sudut pandang
Sudut pandang disini diartikan sebagai dimana penulis menempatkan dirinya dalam cerita. Apakah orang pertama, orang kedua, atau orang ketiga.
Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam prosa fiksi diatas  adalah sudut pandang orang pertama atau  “Akuan” karena tokoh utamanya adalah aku.
6.      Gaya bahasa
Gaya bahasa adalah cara bagaimana pengarang mengungkapkan pemikiran atau ide melalui bahasa-bahasa yang khas di dalam tulisannya.
Gaya bahasa yang digunakan dalam prosa fiksi diatas adalah sebagai berikut:
a.       Gaya bahasa personifikasi
Gaya bahasa personifikasi adalah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. Dan disebut juga penginsanan.
Dalam prosa fiksi diatas gaya bahasa personifikasi digunakan pada kalimat kutatap ibu tapi perempuan tua yang selalu berkebaya dan masih cantik itu melemparkan pandangannya ke halaman. Kata melemparkan pandangannya pada kalimat tersebut dikatakan personifikasi karena mengibaratkan pandangan seolah-olah dapat dilemparkan. Makna sebenarnya dari kata melemparkan pandangannya adalah memandang.
b.      Gaya bahasa hiperbola
Gaya bahasa hiperbola adalah gaya bahasa yang sengaja dibuat berlebihan.
Dikatakan menggunakan gaya bahasa hiperbola karena banyak sekali kalimat-kalimat yang menggunakan gaya bahasa tersebut. Contohnya sebagai berkut:
a)      matanya berkilat menahan perasaan hatinya. Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 16.
b)      Darahku kemudian terasa hangat mengaliri seluruh pori-pori tubuhku. Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 21.
c.       Gaya bahasa metafora
Gaya bahasa metafora adalah gaya bahasa kiasan seperti perbandingan, tetapi tidak menggunakan kata-kata pembanding.
Dalam prosa fiksi diatas gaya bahasa metafora digunakan pada kalimat Inikah anak yang kuragukan darah dagingku? Kata darah daging pada kalimat tersebut adalah bahsa kiasan yang artinya anak kandung.
d.      Gaya bahasa asindeton
Gaya bahasa asindeton adalah semacam gaya bahasa yang berupa acuan padat dan mampat dimana beberapa kata, frase atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk tersebut biasanya dipisahkan saja oleh tanda koma.
Dalam prosa fiksi diatas, gaya bahasa asindeton digunakan dalam kalimat:
a.      Matanya hitam berbinar, bulat, berkejap-kejap. Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 18.
b.      Seakan darahku berhenti berputar, aku mulai berkeringat. Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 20.
c.       Garis hidung ini, lekukan bibir bayi ini... Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 20.
d.      Aku segera istighfar menyebut nama Allah berkali-kali. ... Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 21.
e.       Gusti, mengapa kau ciptakan anak laki-laki ini berambut ikal, hitam seperti rambutku? Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 21.
f.        Aku memandangnya, menatap tubuhnya yang kurus, wajahnya polos tanpa make up. Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 22.
g.      “lihat matanya, lihat hidungnya, rambutnya, dan lekukan bibirnya.Semua mirip ayahnya, mirip kamu!” Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 23.
h.      Aku mencium kening bayi itu, mengelus rambut ikalnya, menjentik hidungnya. Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 24.
e.       Gaya bahasa klimaks
Gaya bahasa klimaks adalah gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang semakin lama semakin mengandung penekanan.
Dalam prosa fiksi diatas, gaya bahasa klimaks digunakan pada kalimat:
a.      Semakin dekat bayi itu, semakin cepat jantungku berdegup.
Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 18.
b.      Kali ini tidak saja darahku yang berhenti mengalir tapi jantungku berhenti berdetak!! Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 20.
f.       Gaya bahasa tautotes
Gaya bahasa tautotes adalah gaya bahasa perulangan atau repitisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi.
Dalam prosa fiksi diatas kalimat yang menggunakan gaya bahasa tautotes adalah kalimat Aku menatapnya, Evie menatapku. Kami bertatapan! Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 23.
g.      Gaya bahasa anafora
Gaya bahasa anafora adalah gaya bahasa repitisi yang berupa perulangan kata pertama pada setiap baris atau setiap kalimat.
Dalam prosa fiksi diatas gaya bahasa anafora digunakan pada paragraf ke 21, yaitu pada kalimat Gusti! Maafkan aku!. Inikah anak yang kuragukan darah dagingku? Aku segera istighfar menyebut nama Allah berkali-kali. Memohon ampun atas segala dosaku. Darahku kemudian terasa hangat mengaliri seluruh pori-pori tubuhku. Gusti, mengapa kau ciptakan anak laki-laki ini berambut ikal, hitam seperti rambutku? Garis hidung dan lekukan bibir seperti milikku? Bayi itu menatapku. Kepolosannya terasa menelanjangi dosaku. Darahku kembali terkesiap. Haruskah kuingkari bayi ini bukan dari benihku? Haruskah kupertahankan keraguanku pada perempuan bernama Evie? Gusti, akulah laki-laki yang banyak dosa.
h.      Gaya bahasa asonansi
Gaya bahasa asonansi adalah gaya bahasa yang dibuat dengan mengulang huruf vokal atau konsonan kata pertama pada kata berikutnya.
Dalam prosa fiksi diatas, ada beberapa gaya bahasa asonansi yang digunakan antara lain pada kalimat :
a)      Awalnya, niatku buka bisnis dengan teman di Yogya, tapi perkenalanku dengan Evie yang cantik dan mempesona berlanjut dari kencan pertama ke kencan berikutnya. Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 3.
b)      nurlita mengurung diri di kamar berhari-hari. Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 5.
c)      Nurlitaku tidak lagi cantik dan ceria, ia murung dan aku penyebabnya. Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 5.
d)     Ibi Evie masuk tanpa kata-kata.  Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 16 yaitu pada awal kalimat.
e)      Aku berjanji sehidup semati dengan Evie. Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 17.
f)       Bayi itu didekatkan padaku. Kalimat tersebut masih terdapat di paragraf ke 18.
g)      Ibu Evie memang tidak banyak bicara .kali ini pun tanpa kata-kata.  Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 19
h)      Garis hidung ini...lekukan bibir bayi ini....kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 20.
i)        Bayi itu menatapku.Kepolosannya terasa menelanjangi dosaku. Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 21.
j)        Ia memandangku tanpa kata-kata. Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 22.
k)      Ibu Evie masih duduk di sampingku, bayi laki-laki berambut ikal masih berada dalam pelukanku. Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 23 yaitu pada awal kalimat.
l)        Aku lupa dengan meeting di Jakarta.Lupa dengan jadwal penerbangan berikutnya. Kalimat tersebut terdapat pada paragraf ke 24.
i.        Gaya bahasa anastrof
Gaya bahasa anastrof adalah gaya bahasa kalimat yang polanya dibalik dan tidak lazim/
Dalam novel tersebut kalimat terlalu mencintai Nurlita yang setia
7.      Amanat
Amanat yaitu pesan-pesan yang disampaikan penulis.
Amanat yang disampaikan oleh penulis dari cerpen tersebut adalah sebagai seorang suami, seharusnya jujur, setia dan bertanggungjawab terhadap istrinya agar tidak menimbulkan permasalahan yang bisa merusak rumah tangga.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
dari kajian prosa fiksi diatas dapat kami simpulkan bahwa prosa memiliki unsur intrinsik antara lain: tema, alur,  penokohan, latar/setting, sudut pandang (point of view), gaya bahasa, dan amanat.

B.     Saran
Sebagai penulis sastra  yang baik seharusnya memperhatikan unsur intrinsik dari sastra tersebut, agar dapat menarik minat pembaca atau penikmat karya sastra.














DAFTAR PUSTAKA

Guntur Tarigan Henry,  Prof. Dr. 2009. Pengajaran Gaya Bahasa, Bandung: Percetakan Angkasa.
Ratih, rina. 2011. Perempuan bercahaya. Yogyakarta : pustaka pelajar.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS MC ACARA DRAMA

ANALISIS UNSUR SEBUAH PUISI

Makalah Presuposisi (Praanggapan) PRAGMATIK